Menteri Haji

Menteri Haji Usulkan Pemerataan Masa Tunggu Haji Nasional

Menteri Haji Usulkan Pemerataan Masa Tunggu Haji Nasional
Menteri Haji Usulkan Pemerataan Masa Tunggu Haji Nasional

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Haji berupaya menghadirkan rasa keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji. 

Menteri Haji, Mochamad Irfan Yusuf, mengusulkan adanya penyamarataan masa tunggu haji di seluruh provinsi. Dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI, Irfan menyampaikan bahwa antrean calon jemaah akan dipukul rata menjadi 26,4 tahun.

Langkah tersebut dimaksudkan untuk mengatasi ketimpangan yang selama ini terjadi. Sebab, ada calon jemaah di daerah tertentu yang harus menunggu hampir satu abad, sementara di wilayah lain antreannya jauh lebih singkat.

Penjelasan Menteri Haji

Menteri Irfan menjelaskan bahwa Indonesia memperoleh kuota 221.000 jemaah dari pemerintah Arab Saudi tahun ini. Kuota itu dibagi ke tiap provinsi berdasarkan daftar tunggu. Namun sistem lama tersebut dianggap tidak adil karena membuat sebagian daerah memiliki antrean terlalu panjang.

“Dengan menggunakan antrean itu, maka akan terjadi keadilan yang merata baik dari Aceh sampai Papua, antreannya sama, 26,4 tahun,” kata Irfan.

Ia menegaskan, gagasan ini muncul karena adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki tata kelola haji sekaligus memberikan kepastian bagi masyarakat.

Mekanisme Baru yang Didorong

Menurut Irfan, pola pembagian kuota diusulkan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika sistem pemerataan ini disetujui, maka pembayaran nilai manfaat akan seragam dan tidak lagi menimbulkan kesenjangan.

“Tidak akan lagi ada orang yang membayar biaya haji dengan nilai yang sama, namun masa tunggunya berbeda hingga bertahun-tahun satu sama lain,” jelas Irfan.

Ia menambahkan, pembahasan bersama DPR RI diharapkan segera menghasilkan keputusan. “Kita menyampaikan usulan itu kepada Komisi VIII dan mudah-mudahan dalam waktu segera kita akan mendapat kepastian mana yang akan kita pakai,” katanya.

Pandangan Wakil Menteri Haji

Wakil Menteri Haji, Dahnil Anzar Simanjuntak, mendukung penuh gagasan tersebut. Ia menyebut bahwa pembagian kuota per provinsi sebelumnya menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Menurut Dahnil, BPK menemukan ketidaksesuaian dengan undang-undang dalam mekanisme penetapan kuota per provinsi. “Makanya nanti tidak ada lagi yang ngantre hampir 48 tahun seperti tadi disebutkan oleh Pak Menteri. Semuanya akan sama ngantre 26 tahun. Jadi itu intinya,” kata Dahnil.

Dengan kata lain, pemerintah ingin memastikan bahwa penetapan kuota benar-benar mengacu pada daftar tunggu nasional, bukan berdasarkan wilayah.

Potret Ketimpangan Antrean

Data menunjukkan adanya perbedaan mencolok antarwilayah dalam hal masa tunggu haji. Berdasarkan catatan tahun 2023, Kabupaten Bantaeng menempati posisi paling lama dengan antrean 97 tahun. Disusul Kabupaten Sidrap 94 tahun, Kabupaten Pinrang 90 tahun, Kota Pare-Pare 86 tahun, dan Kabupaten Wajo 86 tahun.

Di kota besar seperti Makassar, masa tunggu mencapai 85 tahun, sementara di Kota Bontang dan Kabupaten Jeneponto 83 tahun. Kabupaten Maros dan Nunukan masing-masing 79 tahun.

Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakadilan. Di satu sisi, masyarakat membayar biaya haji sama, namun waktu tunggunya berbeda sangat jauh. Usulan pemerataan 26,4 tahun diharapkan dapat menjadi solusi.

Dampak Positif yang Diharapkan

Jika penyamarataan antrean disetujui, setiap calon jemaah di Indonesia akan memiliki masa tunggu yang sama, yaitu sekitar 26 tahun. Hal ini dinilai lebih adil karena tidak ada lagi yang terbebani antrean hingga hampir seabad.

Selain itu, sistem ini akan meringankan beban psikologis masyarakat. Dengan waktu tunggu seragam, calon jemaah dapat lebih tenang mempersiapkan diri baik secara finansial maupun spiritual.

Transparansi juga diharapkan meningkat. Mekanisme yang jelas dan adil dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola haji di Indonesia.

Tantangan Implementasi

Meski gagasan ini membawa semangat positif, penerapannya bukan tanpa kendala. Pemerintah dan DPR harus menyesuaikan regulasi, termasuk revisi undang-undang terkait penyelenggaraan ibadah haji. Proses legislasi ini tentu memerlukan waktu, pembahasan, dan kesepakatan politik.

Selain itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi intensif kepada masyarakat. Terutama bagi mereka yang berasal dari daerah dengan antrean sangat panjang, perubahan ini tentu menjadi kabar gembira. 

Namun bagi daerah yang antreannya relatif singkat, perlu penjelasan agar masyarakat memahami bahwa sistem baru adalah wujud keadilan.

Harapan Pemerintah

Menteri Irfan menekankan bahwa penyamarataan bukan sekadar teknis administrasi, tetapi juga simbol tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya. Ia berharap, kebijakan ini dapat segera memperoleh kepastian hukum.

Dahnil menambahkan, inti dari perubahan adalah memastikan calon jemaah tidak lagi menghadapi perbedaan mencolok yang menimbulkan kesenjangan. Dengan sistem baru, keadilan akan lebih nyata dirasakan.

Usulan penyamarataan masa tunggu haji menjadi 26,4 tahun mencerminkan komitmen pemerintah untuk menghadirkan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kebijakan ini tidak hanya menyelesaikan masalah antrean panjang, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan sebagai bangsa yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Jika berhasil diterapkan, sistem baru ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah penyelenggaraan haji Indonesia, sekaligus menunjukkan bahwa pelayanan publik harus selalu mengutamakan keadilan, transparansi, dan kesetaraan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index